Kamis, 04 November 2010

PEMKAB BERTEKAD KURANGI KEGAGALAN PLG


bakar_webKUALA KAPUAS - Kabupaten Kapuas dikenal karena lahan gambutnya. Keunikan lahan gambut di hamparan lahan datar menginspirasi dibangunnya satu juta hektar persawahan yang dikenal dengan PLG.
PLG gagal karena dimensi perubahan dan perusakan yang terlalu besar serta pendukung data ilmiah yang kurang memadai. Lahan gambut terlantar ini, menjadi mudah terbakar yang asapnya menyebar ke negara tetangga, sehingga Pemerintah Indonesia dipersalahkan. Itu pelajaran berharga bagi kita.
Demikian diungkapkan oleh Bupati Kapuas HM Mawardi dalam sambutan tertulis yang dibacakan oleh Wakil Bupati Kapuas Suraria Nahan ketika membuka Lokakarya Masyarakat Peduli Api Kebakaran Hutan dan Lahan di
Aula Bappeda, Rabu, (3/11) pagi.
Namun demikian kata Bupati, saat ini KFCP yang bersama Pemerintahn Daerah Kabupaten Kapuas bertekat tidak mengulangi kegagalan penanganan lahan gambut. Apalagi di wilayah KFCP terdapat kubah gambut yang perlu diteliti secara kompresentif, terpadu dari berbagai disiplin ilmu, agar menghasilkan bantuan teknis dan pendekatan serta secara cermat mempersiapkan implementasinya.
“Penelitian menunjukkan bahwa kebakaran gambut di Kalimantan Tengah menyumbang emisi gas rumah kaca (Green House Gas; GHG) yang cukup besar. Jadi kalau Kabupaten Kapuas dapat mengurangi, bahkan meniadakan kebakaran di areal KFCP, kita dapat membantu Indonesia mencapai target pengurangan emisi 26% seperti yang ditargetkan oleh Pemerintah Indonesia pada COP Bon di German pada tahun 2009. Di Indonesia, penyebab kebakaran hutan dan lahan adalah akibat ulah manusia,” terangnya.
Data menunjukkan bahwa kebakaran hutan dan lahan terkait dengan pencari gamor, pencari ikan, penebang liar, peladang, dan pekebun karet rakyat sampai perkebunan sawit sekala besar. Namun, penelitian dan kajian yang lebih rinci hubungan antara aktivitas manusia yang mana yang menyulut kebakaran belum banyak dilakukan. Memahami kehidupan masyarakat di dan sekitar areal KFCP menjadi kunci suksesnya proyek ini.
Satu hal yang perlu dipahami adalah bahwa KFCP berupaya merestorasi dan memperbaiki ekosistem hutan gambut yang pernah rusak akibat PLG.
Areal KFCP dijadikan medan demonstrasi untuk mendapatkan insentif dalam skema REDD. Sekarang sedang diuji, imbalan apa yang dapat diberikan ke masyarakat bila mereka dapat mencegah terjadinya kebakaran hutan.
Kehadiran KFCP hendaknya memang mensejahterakan masyarakat, meningkatkan pendapatan dari kegiatan yang tidak merusak hutan dan lingkungan, serta memberi penyadaran agar mau mengubah tabiat masa lalu yang bertumpu pada ekonomi tidak berkelanjutan (non sustainable)
Bulan lalu Bupati sempat melakukan kunjungan kerja ke Australia untuk belajar bagaimana pemerintah dan masyarakat di sana memberikan perhatian penuh terhadap pengelolaan kebakaran yang hampir tiap tahun terjadi di sana. Ternyata penanggulangan kebakaran dilakukan secara sukarela (volunteer). Kerja sukarela ini terbangun dari kesadaran dan pemahaman manusianya, betapa kebakaran hutan sangat mengganggu kesehatan, mempengaruhi keseimbangan ekosistem, dan secara langsung merugikan kehidupan manusia itu sendiri.
Mereka mengorganisir diri agar efektif, lalu menggalang sumberdaya dan membangun sinergitas para pemangku-kepentingan (stakeholders). Ini juga upaya Australia untuk mengurangi emisi dari kebakaran hutan di
negaranya, dan bahkan membantu Indonesia dalam skema REDD di Kabupaten Kapuas.
Kabupaten Kapuas berkomitmen dan bersama KFCP berupaya mengurangi emisi karbondioksida yang dapat diukur dengan berkurangnya kejadian serta luas areal kebakaran hutan dan lahan di wilayahnya. Kami pun sadar bahwa peran masyarakat sangat diperlukan. Merekalah garda depan yang perlu diperhatikan dan diberdayakan. Bila perlu membangun “Masyarakat Peduli Api” yang beranggotakan para pemangku-kepentingan yang terkait dengan issue kebakaran dan Manggala Agni sebagai koordinatornya.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda