Rabu, 10 Agustus 2011

MK NILAI PERMOHONAN JUDICIAL REVIEW UU 41/1999 MEMADAI


MK_WEBJAKARTA – Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang diketuai M Alim , anggota Haryono dan Anwar Usman menilai materi permohonan Pengajuan Judicial  Review  ( Peninjauan Kembali ) Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,  sudah memadai dan mencukupi untuk di proses lebih lanjut .
Tanggapan Hakim MK tersebut disampaikan pada sidang pendahuluan Permohonan Pengajuan Judicial  Review   Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999, di ruang sidang Panel II MK, Rabu (10/8) pagi . Terang Kasubag Pengumpulan Informasi dan Pemberitaan Humas dan Protokol Setda Kapuas Sapto Subagio di Jakarta.
Dalam   resume pengajuan judicial review yang dibacakan DR Agus Surono (tim pengacara)  , para pemohon , memohon kepada Hakim MK diantaranya menyatakan pasal 1 angka 3 UU Kehutanan sepanjang : frasa “ ditunjuk dan atau “ tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat , sehingga berbunyi “ kawasan  hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap “.
Sebagaimana diketahui permohonan  Judicial  Review  diajukan oleh Bupati Kapuas Ir HM Mawardi MM ,  Bupati  Gunung Mas, Katingan , Bartim dan Bupati  Sukamara selaku pemohon
Ditambahkan Sapto, selesai  sidang Bupati HM Mawardi yang juga Koordinator Wilayah Asosiasi Pemerintah Kabupaten  Seluruh Indonesia (APKASI) Kalteng menjelaskan ,pengajuan Judicial  Review tersebut   merupakan tindak lanjut  kesepakatan bersama Bupati se Kalteng pada pertemuan  APKASI di Kuala Kapuas Februari lalu.
Diharapkan   HM Mawardi  dengan kita mengajukan judicial review ada suatu kepastian kawasan tata ruang , yang didalam pembangunan ini nantinya tidak dalam penapsiran, dianggap pelanggaran-pelanggaran.
“ Karena kalau kita lihat dari SK penunjukan kawasan hutan dari  Menteri Kehutanan, bahwa hampir 90 persen kawasan Kalteng adalah kawasan hutan’ ungkap HM Mawardi. Kalau 90 persen kawasan hutan, banyak hak-hak konstitusi kepala daerah dilanggar, tiga fungsi kepala daerah , memberikan pelayanan, pembangunan dan penyelenggaraan kesejahteraan sosial, tidak bisa terlaksana.
" Ketika  menyangkut pelayanan, kita tidak boleh memberikan pelayanan perizinan dalam kawasan hutan, walaupun disana ada kegiatan perkebunan rakyat dan perkebunan  besar ,  hak kita sebagai penyelenggara pemerintah teramputasi ", ungkap HM Mawardi.
Begitu juga ketika membangun, kalau kota kita dianggap kawasan hutan, artinya bangunan yang dibuat pemerintah tidak bisa dijadikan aset, karena tidak bisa disertifikasi. BPN tidak akan memberikan pelayanan sertifikasi, kalau itu berada dikawasan hutan, katanya,
Kita ingin katanya, bahwa sebenarnya didalam  penetapan kawasan hutan harus mempertimbangkan , wilayah kota,wilayah Kecamatan,wilayah yang menjadi lahan pertanian dan perkebunan. “Tidak mungkin semua kawasan itu  harus ditunjuk,  tetapi harus ditetapkan sehingga tidak ada deliniasi, mana yang  harus ditetapkan menjadi kawasan hutan dan mana  sebagai kawasan non hutan, tegas HM Mawardi.
Kita menguji pasal 1 angka 3 UU Kehutanan , bahwa berharap didalam keputusan sidang nanti kita minta,  dengan penetapan bukan hanya penunjukan, yang selama ini dijaadikan dasar oleh Kementerian Kehutanan,  seolah-olah masyarakat yang sudah turun temurun yang melakukan kegiatan pertanian , perkebunan dan peternakan,  dianggap melanggar ketentuan kehutananan, tutur HM Mawardi ( Humas).

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda